-->

Dokter, Pasien dan Perjanjian Terapeutik

Publish: Redaksi ----
Oleh : Yudhia Perdana Sikumbang
Praktisi Hukum



Profesi dokter merupakan profesi yang mempunyai tujuan mulia bagi masyarakat, karena tujuan dasar ilmu kedokteran adalah meringankan sakit, penderitaan fisik, psikis, dan sosial pada pasien dan masyarakat. Kita ketahui untuk menjadi seorang dokter perlu tahapan-tahapan panjang, penuh perjuangan panjang perlu pengorbanan yang besar melalui kuliah diperguruan tinggi. Untuk menjalankan profesi seorang dokter tidak diperbolehkan keluar dari SOP atau Standar Operation Procedure karena jika seorang dokter tidak menjalankan kerja dan tindakan medis yang diambil terhadap pasien, maka akan berdampak kerugian untuk si pasien, perlu diketahui bahwa SOP pada hakikatnya dirancang untuk kepentingan si ”Pasien” jadi dalam hal SOP tidak dipenuhi maka si pasien ataupun keluarga berhak menuntut si dokter apabiila melakukan tindakan medis yang diluar atau melanggar SOP. Sebelum lebih jauh kita membahas persoalan ini saya akan membatasi terlebih dahulu mengerucutkan pembahsan artikel saya ini, karena pembahasan saya dalam tulisan saya ini berkaitan profesi dokter, pasien dan Kontrak terapeutik, adapun isu yang akan diangkat. Pertama, dokter dalam menjalankan tindakan medis, secara hukum terikat hubungan kontrak yaitu “kontrak/perjanjian Terapeutik”.  

Perjanjian/kontrak terapeutik


Jika diurai per Kata, Perjanjian dan terapeutik menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) “perjanjian” merupakan persetujuan antara dua pihak yang mana masing-masing menyatakan kesedian dan kesanggupan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, sedangkan “terapeutik” adalah persetujuan antara kedua pihak yang berkaitan di bidang pengobatan. Secara KBBI arti dua definisi kata ini adalah secara umum namun jika kita ambil versi yuridisnya “perjanjian teraupetik” merupakan hubungan hukum antara petugas atau tenaga medis secaara profesioanal yang didasarkan dengan kompetensi sesuai keahlian bidang masing-masing dokter. 

Didalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran menyebutkan bahwa para pihak dalam perjanjian terapeutik adalah pasien dan dokter/dokter gigi, sedangkan didalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang keseharan menyatakan bahwa pihak dalam perjanjia teraupetik adalah psien dengan tenaga kesehatan dan menurut salim HS didalam bukunya halaman 45 :2006 “ persetujuan yang terjadi antara dokter dan pasien bukan hanya dibidang pengobatan saja tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostik, preventif, rehabilitatif aupun promotif, maka persetujuan ini disebut perjanjian terapeutik atau transaksi teraupetik,perjanjan tersebut juga dengan kontrak teraupetik yang merupakan kontrak yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan” 

 Jika simpulkan defenisis Perjanjian Terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. dari hubungan hukum dalam transaksi terapeutik tersebut, timbullah hak dan kewajiban masing-masing pihak, pasien mempunyai hak dan kewajibannya, demikian juga sebaliknya dengan dokter. 

Adapun syarat sah dalam perjanjian terapeutik ini mengacu dan tunduk pada Kuhperdata (BW) diatur dalam pasal 1320 yang mana sebagai berikut :
1. Kesepakatan
2. Cakap
3. objek jelas
4. Suatu sebab yang halal / diperbolehkan.

Agar lebih jelas akan diulas satu persatu
Pertama “Kesepakatan’ yang dimaksud kesepakatan didalam perjanjian terapeutik ini lebih kepada, kesepakatan yang dibuat dan disetujui oleh para pihak yaitu dokter dan si pasien, sepakat dalam hal tindakan pengobatan maupun perawatan.
Kedua, “Cakap” yang dimaksud cakap disini yaitu kecakapan atau kematangan untuk melakukan perbuatan hukum, dikatakan dan dimaksud cakap disini yaitu telah dewasa dan memenuhi syarat kriteria umur sesuai KuhPerdata untuk membuat suatu perjanjian.
Ketiga, “objek jelas” yang dimaksud disini adalah lebih kepada objek yang diperjanjikan, haruslah kemudian dengan terang dan jelas apa yang diperjanjikan antara si pasien dan dokter, contohnya bagian tubuh mana yang akan dilakukan tindakan pengobatan serta diagnosa penyakit yang diperiksa si dokter.
Keempat, “sebab yang halal” yang dimaksud disini adalah suatu perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan Per UU an yang berlaku, contoh dalam hal tindakan aborsi, tindakan aborsi kita ketahui bersama adalah tindakan yang bertentangan dengan UU dan dilarang, kecuali sebab tertentu.

Bagaimana perjanjian terapeutik dilakukan dan kapan terjadi?

Ada dua cara melakukan perjanjian terapeutik ini yaitu secara “lisan” dan “tertulis” secara lisan perjanjian terapeutik dapat diketahui ketika dalam berucap saja atau bahasa tubuh yang mengiyakan suatu tindakan pengobatan atau perawatan yang dilakukan dokter dan biasanya yang hanya dilakukan secara lisan ini didalam kebiaaan dunia medis, katergorinya dalam hal tindakan pengobatan yang sifatnya ringan-ringan dan biasa, nah lebih jauh yang dilakukan secara “Tertulis” adalah tindakan pengobatan atau perawatan yang mempunyai dan memiliki risiko yang sangat tinggi contohnya operasi, harus disetujui secara tertulis baik dengan passien sendiri atau keluarga pasien, terhadap kesepakatan yang dibuat, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak, dan tidak boleh ada penipuan didalamnya. Untuk itulah diperlukan adanya informed consent atau yang juga dikenal dengan istilah Persetujuan Tindakan Medik. Inilah yang harus diketahui si pasien ataupun keluarganya.

Akibat Pelanggaran perjanjian terapeutik

Didalam hal pelanggaran perjanjian ini tidak hanya dokter yang bisa melanggar perjanjian, si pasien pun bisa melanggar perjanjian, sebagai contoh pelanggran yang dilakukan si pasien, yaitu dalam hal misalnya si pasien tidak kooperatif dan tidak mematuhi isntruksi dokter, ataupun misalnya tidak membayar jasa dan biaya-biaya pengobatan atau perawatan jadi tidak serta merta hanya kedokter saja, nah jika dalam hal perjanjian yang dilanggar oleh si dokter yaitu seperti tidak menepati janji seperti pengobatan kurang optimal, sembrono yang merugikan pasien lebih jauh dalam hal kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-hatian si dokter Juga dapat disebut pelanggaran

Kesimpulan terkait dengan ini semua jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh dokter yang mana membuat pasien rugi atau dokter yang dirugikan pasien, tentu sudah psti ada upaya hukum yang bisa diambil, pertama jika dokter yang melakukan pelanggaran bisa dan dapat dijerat dengan dugaan tindak pidana malpraktek (upaya hukum pidana) sedangkan upaya hukum lain bisa diambil lewat jalur perdata, apakah gugatan perbuatan melawan hukum ataukah wanprestasi, semua itu haruslah didalami sesuai dengan fakta yang terjadi, terakhir apabila si pasien yang melanggar pun bisa digugat semisaltidak membayar jasa si dokter bisa dijerat dengan menggugat secara perdata atau melaporkan penipuan ataupun penggelapan apabila ada unsur pidana tersebut.
Share:
Komentar

Berita Terkini