Oleh: DR (C) Prabowo Febriyanto, S.H., M.H.
Praktisi Hukum Tata Negara / Pengacara Indonesia
Bandar Lampung, 30 Agustus 2025 — Aksi demonstrasi yang kian meluas di Jakarta dan berbagai daerah lainnya menunjukkan gejala serius dalam hubungan antara negara dan masyarakat. Bukan semata unjuk rasa biasa, tetapi sebuah akumulasi dari ketidakpuasan publik yang telah lama terpendam—terutama terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil.
Sentimen ketidakadilan tumbuh subur di tengah ketimpangan yang mencolok. Di saat masyarakat harus menghadapi beban ekonomi yang semakin berat akibat kenaikan pajak dan melambatnya pertumbuhan ekonomi, muncul pula pemberitaan soal tingginya tunjangan untuk para wakil rakyat. Kontras ini menciptakan jurang kepercayaan yang makin lebar antara rakyat dan elite politik.
Tragedi kematian Affan Kurniawan—seorang aktivis muda—menjadi pemantik emosional yang tak terelakkan. Ia bukan hanya simbol perlawanan, tetapi juga representasi dari kegagalan negara dalam menjamin rasa aman dan keadilan bagi warganya. Peristiwa ini memperkeruh situasi dan menjadikan protes berkembang menjadi potensi kerusuhan sosial yang lebih luas.
Apa yang kita lihat hari ini sejatinya adalah benturan antara dua kutub: rakyat yang menuntut keadilan sosial dan negara yang merespons dengan lambat dan—dalam beberapa kasus—represif. Ini bukan hanya soal reformasi politik, tapi juga soal penegakan hukum yang adil, komunikasi yang terbuka, dan kebijakan ekonomi yang merata.
Sebagai praktisi hukum tata negara, izinkan saya menawarkan sejumlah pandangan dan solusi yang semoga dapat menjadi kontribusi bagi penyelesaian masalah ini secara damai dan bermartabat.
1. Penegakan Hukum yang Transparan dan Independen
Negara harus hadir sebagai penjamin keadilan, bukan sekadar penegak aturan. Investigasi terhadap setiap insiden, khususnya yang melibatkan aparat, harus dilakukan secara terbuka, independen, dan bebas dari intervensi politik. Ketika kepercayaan terhadap institusi penegak hukum pulih, ketegangan di akar rumput akan ikut mereda.
2. Membangun Komunikasi Konstruktif dan Setara
Pemerintah perlu membuka ruang dialog yang jujur dan konstruktif, tidak hanya sebagai bentuk formalitas. Libatkan perwakilan mahasiswa, buruh, pengemudi ojek online, dan elemen masyarakat lainnya dalam forum kebijakan publik. Dengarkan suara mereka bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai masukan yang sah dari pemilik kedaulatan: rakyat.
3. Reformasi Kebijakan Sosial dan Ekonomi
Evaluasi kembali kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif. Tunjangan elite, pajak yang mencekik, serta pemangkasan anggaran sosial harus ditinjau ulang. Negara harus lebih fokus pada pemenuhan hak dasar warga, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan perlindungan keluarga.
4. Pemerataan Ekonomi sebagai Solusi Jangka Panjang
Ketimpangan ekonomi adalah akar dari banyak kekisruhan sosial. Pemerintah harus mendorong kebijakan redistributif: subsidi langsung bagi pekerja informal, reformasi ketenagakerjaan, penciptaan lapangan kerja, dan penguatan jaring pengaman sosial. Pemerataan ekonomi bukan hanya soal keadilan, tetapi juga stabilitas nasional.
Penutup
Kekisruhan ini tidak akan selesai hanya dengan pendekatan keamanan. Ia menuntut pendekatan keadilan. Negara tidak boleh kalah, tetapi juga tidak boleh menutup telinga. Inilah momentum bagi kita semua—pemerintah, masyarakat, dan semua elemen bangsa—untuk kembali kepada semangat konstitusi: menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.