Diseluruh di Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan, penjajah Belanda memberlakukan rodi dan erakan. Pendidikan urang Banjar juga menjadi kurang maju sekitar tahun 1900-1928.
Keadaan ini membuat Warga Banjar, khusus nya wilayah hulu sungai pindah secara besar besaran ke sisir pulau Sumatera. Daerah yang jadi tujuan sepeti daerah Jambi, Sapat, dan Tambilahan. Bahkan ulama besar kelahiran Martapura, Syekh Abdurrahman Shiddiq Al Banjari bermukim juga disana dan menjadi Mufti kerajaan Indragiri.
.
Saking banyak nya yang pindah, pada tahun 1950 jumlah penduduk suku Banjar yang bermukim di Sapat dan Tambilahan mencapai 250.000 orang. Selain ke pesisir Sumatera, orang orang Banjar juga menuju semenanjung Tanah Melayu untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Memang, rakyat Banjar yang golongan petani sangat ketakutan dengan denda dari Belanda. Karena mereka tak punya penghasilan tetap. Hingga muncul beberapa pemberontakan rakyat, semisal pemberontakan Guru Sanusi (1914-1918) dan pemberontakan Gusti Darmawi (1927)
Pemberontakan Guru Sanusi sangat mencolok bagi warga Banjar. Karena beliau adalah Guru ilmu tasawuf dan merupakan keturunan "anak cucu urang sepuluh". Beliau menuntut hak istimewa yang diberikan kepada orang tua beliau, yaitu pembebasan dari pajak.
Karena dianggap memberontak, beliau diburu oleh Penjajah Belanda. Beliau lari ke Amuntai, Margasari, Bakumpai, hingga daerah Tangkas di Sungai Batang Martapura. Akhirnya Guru Sanusi ditembak mati oleh pasukan marsose penjajah Belanda.
sumber buku Sejarah Banjar Balitbangda Provinsi Kalsel oleh penerbit Ombak Yogyakarta. Sub judul "diskriminasi kependudukan, pajak/beritabanjarmasin. com